Hari ini, seperti hari biasanya. Dengan susah payah aku mengumpulkan niat untuk bangun dari tempat tidur, berharap jam dinding yang tergantung tepat diatas televisi itu bisa berhenti berputar sejenak untuk beberapa menit saja. Jam masih menunjukan jarum pendeknya kearah jam 6, dan dapat dipastikan beberapa saat lagi mama akan masuk kekamar dan mencuci mukaku dengan air shalawatnya agar sesegeranya bangun karena ada kewajiban yang harus dilaksanakan, ada lantai yang harus dibersihkan dan cucian yang segera harus dibereskan. Tak lama setelah memikirkan demikian suara langkah kaki mama mulai terdengar samar2 dari kejauhan. Dengan gontai aku langsung bangun dan duduk, pertanda bahwa ketika mama masuk kedalam kamarku, aku sudah bangun dan beliau tidak perlu repot2 mencuci mukaku lagi.
"Mia, lakasi bangun basubuh balum, lantai dilap, tatapasan dijamur (cepat bangun, belum shalat subuh, lantai dipel, cucian dijemur)". "Hmmmmmm" jawabku dengan anggukan yang artinya iya. Mama tersenyum, kali ini beliau gagal mencuci mukaku.
Matahari semakin meninggi. Aku menyapuh keringat setelah lelah membersihkan seisi rumah, "Akhirnya selesai" ucapku dengan bangga. Aku melirik kearah jam dinding diruang tamu itu, jarum pendeknya sudah lewat dari angka 7. Saatnya untuk mengambil anduk, menggalung rambut dan kemudian segera berlari ke kamar mandi. Dari berbagai aktifitas yang aku jalani setiap harinya, bagiku hal tersulit untuk dilakukan hanya satu hal yaitu MANDI PAGI. Setelah lama libur sepanjang bulan ramadhan dan ditambah dengan libur semester, rasanya mandi pagi adalah hal yang benar2 terasa asing bagi seorang yang pada dasarnya memang malas mandi.
Hari ini hari senin. Aku menghirup udara segar yang sepertinya baunya tidak terasa begitu segar, akh ternyata itu bau kaos kakiku yang lupa kucuci sebelum libur bulan ramadhan. Siapa saja yang menciumnya mungkin akan keracunan gas berbahaya, bahkan dapat menyebabkan impotensi, gangguan kehamilan dan janin *eh.
"Aku sudah siap" ucapku dalam hati. Ini hari pertamaku setelah sebulan lebih libur. Aku sangat merindukan mereka, Anak muridku. Iya, aku Dwi Meydianti. Seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar yang berada dipinggiran kota barabai, yang murid keseluruhannya hanya berjumlah sekitar 40 orang. Bagiku itu sudah banyak, dengan jumlah mereka yang hanya rata2 7 orang perkelas sudah membuat kepalaku pusing untuk menghadapinya. Sebenarnya aku hanya di honorkan untuk menjadi penjaga perpustakaan, tapi karena kepala sekolah sangat sibuk sehingga beliau memintaku menggantikan tugas mengajar beliau untuk mata pelajaran PKN, tapi itupun hanya kelas 4,5 dan 6 Tak apa bagiku hanya mendapat tugas ditiga kelas saja dan gajih yang tak seberapa karena aku masih kuliah jalan semester V di salah satu sekolah tinggi keguruan didaerahku. Ilmu pengetahuanku masih terbatas dan sangat tidak berpengalaman dalam mengajar, apalagi dalam bagian kepustakaan, tapi beruntungnya aku punya orang tua yang masih tidak terlalu memikirkan besar penghasilanku, karena kuliah sambil bekerja itu bukan hal yang mudah dilakukan. Mama hanya ingin aku mendapatkan pengalaman mengajar agar kedepannya bisa terbiasa dalam menghadapi murid2 yang memiliki karakteristik berbeda. Untungnya lagi, ayahkulah yang mengepalai sekolah itu sehingga beliau mempercayakan pekerjaan menjaga perpustakaan kepadaku yang bahkan tidak kuliah di bidang kepustakaan dan akupun tau bahwa aku tidak akan menjadi seorang penjaga perpustakaan tetap, tapi itu malah membuatku tertantang untuk dapat mengelola sebuah perpustakaan sekolah.
Aku melamun terlalu lama sampai lupa jam 8 sudah terlewat beberapa menit. Aku beranjak pergi menuju sekolah dengan menaiki sepeda motor honda beat keluaran tahun 2011 yang sudah agak ketinggalan jaman dibandingkan motor honda scopy yang bahkan sekarang sudah bisa dipakai untuk mencharge hanphone. Cukup menempuh 10 menit dari rumahku, akhirnya aku sampai dan langsung memarkirkan motorku. Terlihat dua tiga orang murid menyapa dan meminta bersalaman. Ini adalah yang sangat aku rindukan. Aku merindukan suasana ketika mereka merasa senang dengan kedatanganku, meskipun kadang mereka susah kuatur hanya karena aku guru muda yang mungkin saja mereka berfikir usiaku baru 18 tahun *pengennya gitu, sehingga mereka kurang menghormatiku. Tapi tak apa, mereka masih terlalu polos untuk mengerti perasaan seorang guru dan pada dasarnya anak2 memang seperti itu.
Dari beberapa murid disekitarku berdiri, rasanya ada yang hilang. Ah iya, murid kelas VI tahun lalu sudah lulus. Sebenarnya semua murid itu spesial buatku, tapi murid yang paling aku spesialkan adalah murid2 kelas VI karena dikelas VI punya banyak murid yang pintar dan juga menyenangkan untuk diajak bicara. Tapi sudahlah, seperti pasangan kekasih yang memutuskan perpisah demi mengejar cita2, tahun akan terus berlanjut, dan yang sudah menyelasaikan tingkatan sekolahnya maka mereka akan pergi untuk meneruskan perjuangan mereka. Aku hanya berharap ilmu yang aku sampaikan bisa mereka ingat hingga mereka sukses nanti *yay, aku cukup bijak dalam urusan seperti ini.
Aku berjalan menuju ruang kantor. Terlihat sebagian guru sudah datang dan satu orang guru terlihat sedang mengurus penerimaan siswa baru. "Sudah berapa orang yang mentaftar pak ?" Tanyaku sekedar berbasa basi.
"Haha, sudah 30 orang." Jawab beliau sambil tertawa.
Dari cara bicaranya sepertinya itu terasa seperti hanya 3 orang yang mendaftar. Akupun ikut tertawa, seperti beliau tau apa yang aku pikirkan, "hiih nah, cuma 3 orang, kayaknya kada batambah lagi pang (iya nih, cuma 3 orang, kayaknya gak nambah lagi deh)". Sambung beliau lagi.
Namanya juga sekolah pinggiran kota, sudah pasti jumlah muridnya kurang lebih seperti itu. Belum lagi jika ada yang tidak bisa membaca terpaksa tidak naik kelas, dia merasa malu dan kemudian memutuskan putus sekolah. Itu adalah salah satu kejadian yang aku takutkan. Ketidak mampuan seorang guru untuk mengajarinya membaca, dan kurangnya kepedulian sang orang tua murid menyebabkan bertambahnya anak2 putus sekolah dipelosok daerah. Sementara anak2 para petinggi negara dan dikota2 sana sudah disibukkan dengan gadget canggihnya, sedangkan disini ada anak yang bahkan belum belasan usianya namun sudah mengerjakan pekerjaan orang tuanya untuk bertani dan mengangkut karung2 padi (bahasanya mengangkut pelayan) beratus2 kilogram beratnya.
Miris memang, ketika banyak orang tua dan orang2 berkecukupan merasa iba ketika menonton acara televisi yang menayangkan tentang sisi kehidupan orang pinggiran yang biasanya berada didaerah luar kalimantan, lalu ibakah mereka dengan keadaan sekitar mereka ? Mengapa masih banyak anak2 putus sekolah didaerah pinggiran kota ? Mengapa sedikit sekali orang yang peduli dengan pendidikan dan nasib masa depan anak2 seperti mereka ? . Ah sudah, tidak akan ada habisnya mempertanyakan pertanyaan yang entah untuk siapa, sama halnya seperti bertanya kepada anak kecil yang tak sengaja menghilangkan kartu atm ayahnya *nyambung gak sih?. Yang jelas, hanya dengan cara ini aku mengabdikan diri demi anak2 penerus bangsa agar tidak lagi ada kasus putus sekolah seperti demikian.
Kembali ke kantor. Duduk sebentar dikursi untuk sekedar menyapa guru2 lain. Tak lama berselang, aku meraih kunci perpustakaan. Banyak murid2 yang merengek meminta dibukakan perpustakaan seperti anak yang minta dibelikan gulali warna pink atau es krim rasa coklat.
Aku segera menuju ruang perpustakaan, diikuti murid2 yang tadi berisik merengek. Mereka sangat antusias untuk memasuki perpustakaan, tapi aku tau satu hal mengapa mereka bersemangat. Sudah pasti ingin bermain didalam perpustakaan. Hanya satu dua orang yang benar2 punya niat membaca.
Aku memasukan kunci yang kupegang kedalam lubang kunci dipintu menuju perpustakaan, bahkan ada anak yang sudah mengutak atik gagang pintunya seakan tidak mau menunggu. Kuputar kunci itu kearah kanan sebanyak dua kali, dua orang anak yang tahu itu pertanda kunci sudah dibuka langsung saja mendorong pintu yang sudah tak terkunci lagi itu. "Hei, hei jangan di dorong, ini gagangnya harus diputar dulu baru ditarik", ucapku sambil memegang gagang pintu dan memutarnya lalu menariknya kedepan. Seketika pintu dibuka, murid2 yang sudah tak sabaran itu memasuki perpustakaan.
Karena libur panjang selama lebih dari satu bulan, ruang perpustakaan yang dibangun dari semen dan lantai porselen itu benar2 terlihat kotor. Debu dan giring-giring menyelimuti seluruh rak buku, sarang laba2 juga ikut menempel disana, bahkan pojok2 ruangan pun dijadikan rumah oleh mereka. Rak buku diperpustakaan itu benar2 sudah tua, sehingga mengeluarkan banyak sekali serbuk kayu atau giring2 setiap harinya.
Aku meminta anak2 untuk membantu membersihkan ruangan, namun mereka semua tetap saja sibuk sendiri dengan aktifitas mereka masing2. Hanya ada satu orang anak kelas II yang berlari mencari sapu. Dia cukup familiar, karena anak itu yang sering mengadu keruang kantor jika ada anak yang bertengkar atau menangis, ya meskipun dia sendirilah biang onarnya. Dengan bersemangat dia berlari kearahku dan menyodorkan sapu yang dia ambil jauh2 dari ruang kelasnya, padahal di ruang perpustakaan itu juga sudah tersedia banyak sapu.
"Bu, ini sapunya !". "Ah iya, terimakasih Badawi, sekarang bantu ibu menyapu yah !" Ucapku pada anak itu sambil menyodorkan balik sapu yang tadi dia sodorkan.
Terlihat raut wajah malas seorang anak kecil sedang ada dihadapanku, aku pun meminta anak2 yang lain untuk membersihkan nya, namun tentu saja tidak akan semudah seperti menyuruh mereka makan gulali warna merah muda. Tapi paling tidak, anak2 kelas V banyak membantuku, meskipun hanya sekedar menyapu lantai porselen agar anak2 yang lain bisa duduk membaca dimeja kecil yang ukurannya seperti meja belajarku dirumah, hanya saja meja2 diruang perpustakaan itu berbahan dasar kayu.
Dari lebih dari sepuluh orang murid yang berada didalam ruang perpustakaan, tidak ada seorangpun yang bisa diam duduk manis dimejanya untuk membaca sebuah buku. Aku terus menegur anak2 yang berisik agar patuh pada peraturan perpustakaan, hingga lama kelamaan seiring bergeraknya arah jarum jam, anak2 yang awalnya hanya ingin bermain didalam ruang perpustakaan meninggalkan ruangan satu persatu, seperti seseorang yang sudah bosan dengan sang pacar dan memutuskan untuk meninggalkannya pergi tanpa rasa bersalah *yakk baper.
Hingga akhirnya tersisalah lima orang murid yang masih bertahan didalam ruang perpustakaan yang benar2 membaca buku, dan dapat diartikan bahwa minat baca 40 orang murid disekolah itu masih sangat rendah, seperti serendah seorang sahabat yang menikung temannya sendiri *wtf?.
Dari lima orang murid yang masih sibuk membaca, perhatianku terfokuskan kepada salah satu anak yang sejak semester lalu sangat aku senangi. Namanya Kamil Aditya, kelas empat. Si hiperaktif yang tidak bisa diam ini ternyata bisa fokus membaca, yaaa meskipun gaya membacanya masih bersuara nyaring dan membuat seisi perpustakaan yang hanya ada 6 orang didalamnya menjadi penuh dengan suaranya. "Kamil, berisik !". Teriak salah satu anak yang merasa terganggu dengan gaya membaca Kamil. Tapi seperti kebanyakan anak lainnya yang susah untuk ditegur, dia tetap saja membaca bersuara sesukanya.
Kamil termasuk murid yang susah diatur, jika dia sudah berulah, sikecil kamil akan menjahili anak2 lain disekitarnya. Dia sangat aktif dan hampir tidak bisa diam. Tapi ketika dia membaca, entah kenapa suara nyaringnya ketika membaca lebih mendamaikan daripada suara nyaringnya ketika membuat kegaduhan.
Setelah kurang lebih sepuluh atau lima belas menit, Kamil menutup bukunya sembari berteriak, "sudah selesai!" Kamil kegirangan. Aku yang sejak tadi memperhatikan dia dari meja penjaga perpustakaan ikut tersenyum. Melihat dia kegirangan setelah berjuang menyelesaikan sebuah buku dengan gaya membaca menabrak banyak titik dan koma itu mengingatkan aku ketika pertama kali aku mengenal sebuah buku.
Saat itu mungkin aku masih berumur 4 tahun, ya jika kuhitung sudah terjadi 16 tahun silam. Itulah hari dimana aku benar2 menikmati alur cerita didalam sebuah buku fiksi. Masih teringat samar2 tentang saat itu, aku juga tak begitu memperhatikan penerbit buku tersebut, tapi betapa hebatnya penerbit dan pengarang buku tersebut hingga membuatku, seorang anak berusia empat tahun begitu mengaggumi karya mereka. Masih teringat dengan jelas judul cerita pertama ketika itu adalah bawang putih dan bawang merah, namun cerita didalam buku tersebut banyak berbeda dibandingkan dengan buku yang memiliki alur cerita lain namun memiliki judul yang sama
Aku memang sudah lupa bagaimana keseluruhan jalan ceritanya, tapi aku masih bisa membayangkan situasi disana ketika acil Niah, penjaga perpustakaan di sekolah tempat ibuku mengajar, yang mengajariku dan membuka mataku tentang betapa menyenangkannya membaca buku. Ketika itu, aku memang masih belum bisa membaca, karena itulah Acil Niah dengan penuh semangat membacakan cerita2 fiksi bergambar yang sudah disiapkannya untuk dibacakan. Seperti seorang gadis yang pertama kali mengenal cinta, pengalamanku mengenal buku adalah ketika aku selalu penasaran bagaimana jalan cerita buku2 tersebut sejak awal dibacakan. Selalu ingin dibacakan, lagi dan lagi. Setiap hari aku habiskan untuk mendengarkan buku cerita yang dibacakan Acil Niah untukku.
Untungnya aku punya orang tua yang menyayangiku dan selalu mendorongku untuk maju. Tahun demi tahun berlalu, aku mulai belajar untuk membaca buku ku sendiri. Perlahan2, seperti pertama kali memulai pendekatan dengan perlahan tetapi pasti. Dimulai dari kata, dari kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragrap, paragrap menjadi bab, hingga pada akhirnya bisa menyelesaikan sebuah buku cerita.
Tapi, semakin usiaku bertambah. Minatku membaca mulai berkurang, karena berbagai macam hal yang aku lakukan. Sewaktu sekolah dasar, memang hampir seluruh waktuku sepulang sekolah hingga sore hanya kuhabiskan untuk bermain dengan teman2. Tak tanggung-tanggung, aku menghabiskan waktu bermain selalu dengan anak-anak laki-laki di desaku, mungkin itu sebabnya hingga saat ini aku lebih senang berteman dengan laki-laki ketimbang berteman dengan perempuan yang setauku kebanyakan dari anak-anak perempuan hanya suka membanding-bandingkan dirinya dengan temannya, bahkan tak segan menjelekan temannya sendiri agar dianggap lebih hebat.
Aku mengingat pengalaman mengenal buku, bukan karena masa kecilku hanya kuhabiskan untuk membaca dan malah membuatku menjadi seorang kutu buku. Bukan pula karena aku pintar mengingat semua buku yang pernah kubaca sejak awal mengenal membaca. Aku hanya orang biasa, tanpa IQ yang super tinggi. Aku hanya mengingat betapa aku menikmati saat2 itu, saat usiaku belum mencapai sepuluh tahun. Saat dimana hanya ada buku, tanpa smartphone canggih yang sekarang ini hanya kugunakan sebagai alat komunikasi, bersosial media, bermain game lets get rich atau hay day. Oh bodohnya kini aku menyadari, betapa tersia2kannya semangat membacaku hanya karena kini perhatianku tak lagi terfokuskan untuk membaca. Banyak potensi yang menjadi samar seiring bertambah dewasanya seseorang, sama seperti sepasang manusia yang menjalin cinta karena rasa nyaman yang menjebak, padahal itu hanya sesaat. Semakin lama hubungan berjalan, semakin sulit menyeimbangkan perasaan, hingga akhirnya berpisah dengan alasan sudah tak nyaman. Padahal cinta merekalah yang semakin memudar.
Sekarang, aku berada disekeliling tumpukan buku setiap harinya. Ini sudah saatnya aku menebus semangat membacaku yang sudah memudar sepupuh tahun terakhir kehidupanku.
Melihat Semangat Kamil membaca membangkitkan kembali semangatku. Tidak ada hal yang sia2 ketika membaca.
Tulisanku memang sejelek cacing kelaparan, tapi berkat membaca, ketika aku memasuki kelas 1 Sekolah dasar, aku sudah bisa meletakan dimana O bulat atau U pecah diletakan dalam sebuah kata, padahal didaerahku cukup susah membedakan huruf O dan U *banjar cuy.
Betapa aku bersyukur dengan pekerjaanku sekarang. Dan betapa pentingnya peranku sebagai seorang penjaga perpustakaan disebuah sekolah dasar. Seperti aku ketika itu, aku ingin anak2 murid disekolah ini bisa membaca seperti yang kamil lakukan. Aku ingin mereka menikmati membaca senikmat ketika aku membaca pertama kalinya.
Tapi bagaimana ? Seperti seseorang yang mencintai tanpa dicintai, untuk mendapat perhatiannya saja benar2 susah.
Susah sekali mengatur anak2 sekolah dasar agar menyukai membaca. Yang mereka lakukan selama ini hanya lebih banyak bermain dan bercanda didalam perpustakaan.
Tapi itulah tantangan seorang penjaga perpustakaan. Bukan hanya menjaga kebersihan perpustakaan, bukan cuma mencatat dan mendata peminjam dan pembaca perpustakaan. Aku harus menjadi semangat mereka agar gemar membaca.
Jadi, siapa bilang penjaga perpustakaan itu mudah ?.
Bagiku sih begitu. Bagiku yang masih seorang mahasiswa yang bahkan tidak menguasai ilmu kepustakaan. Seorang murid sekolah dasar mampu mengembalikan semangat membacaku dan membuatku kembali memutar memori ketika pertama kali aku mengenal buku.
Ini ceritaku hari ini. Ini sepotong kecil peristiwa dalam hidupku yang mampu menginspirasi diriku sendiri untuk bertekad menjadi penyemangat anak2 penerus bangsa untuk menyukai membaca. Seperti seorang yang berjuang demi orang yang dia cinta. Aku mencintai anak2 ini, maka akan aku lakukan apa yang seharusnya bisa aku lakukan.